Senin, 25 Juni 2012

HASIL KEPUTUSAN BATHSUL MASAIL FMPP komisi A di PP lirboyo


Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il XXI



FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN
SE JAWA-MADURA
Di Pon. Pes. Lirboyo PO BOX 162 Kota Kediri

                      Komisi A

Jalsah Ula
MUSHOHIH
1.       KH. A. Yasin Asmuni
2.       KH. Atho’illah S. Anwar
3.       KH. Muhibbul Aman
4.       KH. Firjaun Barlaman
5.       K. Anang Darunnaja
6.       H. Agus Sobich Al Muayyad
7.       KH. Fahim Rauyani
8.       Agus HM. Sonhaji
PERUMUS
1.       Agus Syamsul Mu'in
2.       Bpk. Abdul Mannan
3.       Bpk. Saiful Anwar
4.       Bpk. Sunandi Zubaidi
5.       Bpk. Abdulloh Mahrus
6.       Bpk. Abdul Wahab
7.       Bpk. M. Anas
8.       Bpk. Bisyri Musthofa
9.       Bpk. Ali Saudi
MODERATOR
Bpk.  M. Ayman al-Akiti


NOTULEN
1.     Bpk. Ahid Yasin
2.     Bpk. Mudzakir
3.     Bpk. Zaimul Abror


1.     PRO KONTRA RUU PERKAWINAN
Deskripsi Masalah
Diantara daftar Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2010 ini, Kementerian Agama berencana mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang meliputi ketentuan nikah sirri (perkawinan di bawah tangan), nikah mut’ah (kawin kontrak), poligami dan thalaq (cerai). Beberapa pasal dalam draft RUU tersebut juga memuat ketentuan pidana kurungan mulai 6 bulan hingga 3 tahun, serta denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta misalnya pada:
ü Pasal 143 Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
ü Pasal 144 Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah sebagaimana dimaksud pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan perkawinannya batal karena hukum;
ü Pasal 145 Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
ü Pasal 146 Setiap orang yang menceraikan istrinya tidak di depan sidang pengadilan sebagaimana dalam pasal 119 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
ü Pasal 147 Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Menurut RUU tersebut, perkawinan yang tidak dilangsungkan di hadapan pejabat pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal berikut :
ü Pasal 4 Setiap perkawinan wajib dicatat oleh pejabat pencatat nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ü Pasal 5 (1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 4 setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan pejabat pencatat nikah.
ü Pasal 5 (2) Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum.              
Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam KHI (kompilasi Hukum Islam) Pasal 5-6  sebagai berikut :
ü Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
ü Pasal 5 (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1),  dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
ü Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap  perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
ü Pasal 6 (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Draft RUU tersebut dimaksudkan sebagai wujud perlindungan akibat buruk pada pihak-pihak yang menjadi korban. Misalnya nikah sirri, kawin kontrak dan poligami dipandang banyak merugikan perempuan dan sering disalahgunakan menjadi perzinaaan terselubung yang dimanfaatkan sebagai media singgahan pemuasan dan pelampiasan seks tanpa tanggung jawab yang berakibat istri dan anak-anak terlantar, tidak ada pengakuan dari istri pertama dll. RUU ini juga diharapkan akan mempermudah istri atau anak memperoleh haknya secara hukum positif seperti hak warisan, hak perwalian,tunjangan kesehatan, pembuatan KTP atau paspor dll.
Kendati demikian, khusus RUU nikah sirri dan poligami tersebut mendapat respon penolakan keras dari belbagai kalangan karena di samping dinilai menyudutkan dan mempersulit amaliah umat Islam, RUU tersebut juga dikhawatirkan justru akan mengobsesi seseorang memilih melakukan zina ketimbang harus menikah. Lebih dari itu, pemidanaan dengan denda dan atau hukuman penjara terhadap perkawinan tanpa dokumentasi itu dinilai berlebihan, karena praktek nikah sirri sebenarnya hanya merupakan pelanggaran administratif keperdataan, yaitu melanggar pasal 2 UU 1/1974 tentang perkawinan, bukan bentuk pelanggaran pidana sehingga tidak proporsional jika harus dikriminalisasi.
Pertanyaan
a.      Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, dapatkah dibenarkan pemberlakuan pasal nikah sirri dan poligami di atas?
b.      Bagaimana hukum pemidanaan pelanggaran UU nikah sirri dan poligami di atas?
c.      Jika pemerintah benar-benar memberlakukan, bagaimana konsekuensi hukum perkawinan atau perceraian yang melanggar pasal nikah sirri dan poligami di atas?
Sail : PP. Langitan & Panitia
Jawaban
a.      UU Perkawinan sesuai yang tertuang dalam KHI yang membatasi pernikahan siri dengan tidak mengesahkannya tidak dapat dibenarkan karena menganggap batal pernikahan yang sudah sah sesuai syara'.
b.      Gugur
c.      Gugur

REFERENSI
1.      Al Fiqh al Islami, vol. 9 hal. 6674
2.      Bughyah al Mustarsyidin hal. 271
3.         At Tasyri' al Jana'i, vol. 1, hal. 254
4.     Al Fiqh al Islami, vol. 9 hal. 339

1.         الفقه الإسلامي الجزء التاسع  صـ 6674
الدعوة إلى جعل تعدد الزوجات بإذن القاضي ظهرت دعوات جديدة في عصرنا تمنع تعدد الزوجات إلا بإذن القاضي ليتأكد من تحقق ما شرطه الشرع لإباحة التعدد، وهو العدل بين الزوجات والقدرة على الإنفاق لأن الناس وخصوصاً الجهلة أساؤوا استعمال رخصة التعدد المأذون بها شرعاً لغايات إنسانية كريمة لكن تولى المخلصون دحض مثل هذه الدعوات لأسباب معقولة هي ما يأتي (1) 1- إن الله سبحانه وتعالى أناط بالراغب في الزواج وحده تحقيق شرطي التعدد، فهو الذي يقدر الخوف من عدم العدل، لقوله تعالى: {فإن خفتم ألا تعدلوا، فواحدة} [النساء:3/4] فإن الخطاب فيه لنفس الراغب في الزواج، لا لأحد سواه، من قاض أوغيره، فيكون تقدير مثل هذا الخوف من قبل غير الزوج مخالفاً لهذا النص. وكذلك البحث في توافر القدرة على الإنفاق، فإنه منوط بالراغب في الزواج، لقوله «يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج..» فهو خطاب للأزواج، لا لغيرهم. 2 - إن إشراف القاضي على الأمور الشخصية أمر عبث، إذ قد لا يطلع على السبب الحقيقي، ويخفي الناس عادة عنه ذلك السبب فإن اطلع على الحقائق كان اطلاعه فضحاً لأسرار الحياة الزوجية، وتدخلاً في حريات الناس، وإهداراً لإرادة الإنسان، وخوضاً في قضايا ينبغي توفير وقت القضاة لغيرها، ومنعاً وأمراً في غير محله، فالزواج أمر شخصي بحت، يتفق فيه الزوجان مع أولياء المرأة، لا يستطيع أحد تغيير وجهته، وتبديل قيمه. وإن أسرار البيت المغلقة لا يعلم بها أحد غير الزوجين.
2.         بغية المسترشدين  صـ 271 دار الفكر
فائدة حكم العرف والعادة حكم منكر ومعارضة لأحكام الله ورسوله وهو من بقايا الجاهلية في كفرهم بما جاء به نبينا محمد عليه الصلاة والسلام بإبطاله فمن استحله من المسلمين مع العلم بتحريمه حكم بكفره وارتداده واستحق الخلود في النار نعوذ بالله من ذلك اهـ فتاوى بامخرمة. ومنها يجب أن تكون الأحكام كلها بوجه الشرع الشريف وأما أحكام السياسة فما هي إلا ظنون وأوهام فكم فيها من مأخوذ بغير جناية وذلك حرام وأما أحكام العادة والعرف فقد مرّ كفر مستحله ولو كان في موضع من يعرف الشرع لم يجز له أن يحكم أو يفتي بغير مقتضاه فلو طلب أن يحضر عند حاكم يحكم بغير الشرع لم يجز له الحضور هناك بل يأثم بحضوره اهـ.
3.         التشريع الجنائي في الإسلام الجزء الأول صـ 254
إن أولي الأمر بحسب نصوص الشريعة الإسلامية ليس لهم حق التشريع المطلق للأسباب التي بيناها: وإن حقهم في التشريع قاصر على نوعين من التشريع الأول تشريعات تنفيذية يقصد بها ضمان تنفيذ نصوص الشريعة الإسلامية. والثاني: تشريعات تنظيمية لتنظيم الجماعة وحمايتها وسد حاجاتها على أساس مبادئ الشريعة العامة. وهذه التشريعات لا تكون إلا فيما سكتت عنه الشريعة فلم تأت بنصوص خاصة فيه ولا يمكن أن تكون فيما نصت عليه الشريعة، ويشترط في هذه التشريعات قبل كل شئ أن تكون متفقة مع مبادئ الشريعة العامة وروحها التشريعية، فهي تشريعات توضع بقصد تنفيذ مبادئ الشريعة العامة، وإذن فهي في حقيقتها نوع آخر من التشريعات التنفيذية.
4.          الفقه الإسلامي وأدلته الجزء التاسع صـ 339
وليست الدعوة المعاصرة إلى جعل الطلاق بيد القاضي ذات فائدة؛ لمصادمة المقرر شرعاً، ولأن الرجل يعتقد ديانة أن الحق له، فإذا أوقع الطلاق، حدثت الحرمة دون انتظار حكم القاضي. وليس ذلك في مصلحة المرأة نفسها؛ لأن الطلاق قد يكون لأسباب سرية ليس من الخير إعلانها، فإذا أصبح الطلاق بيد القاضي انكشفت أسرار الحياة الزوجية بنشر الحكم، وتسجيل أسبابه في سجلات القضاء، وقد يعسر إثبات الأسباب لنفور طبيعي وتباين أخلاقي

2.     ARISAN SEDULURAN
Deskripsi Masalah
Sebuah perusahaan kecil CV. ARISAN SEDULURAN menawarkan program arisan dengan ketentuan:
ü Arisan dengan hasil undian mendapatkan Honda REVO seharga Rp. 14.000.000
ü  Peserta satu group Arisan minimal 30 orang
ü Undian dilakukan 1 bulan sekali selama 24 bulan
ü Iuran pada bulan pertama sebesar Rp. 1.000.000 dan bulan berikutnya     sebesar Rp. 500.000
ü Peserta yang namanya keluar saat undian, berhak mendapat Honda REVO dan tidak berkewajiban menyetorkan iuran di bulan-bulan berikutnya.
ü Enam peserta yang tidak keluar namanya dalam 24 kali putaran undian, akan otomatis mendapatkan Honda Revo di akhir periode.
Melihat minat dan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi (khususnya di daerah Indramayu) mengikuti model arisan ini, pihak CV. ARISAN SEDULURAN berusaha mengembangkan programnya dengan menawarkan hasil undian yang cukup variatif, seperti HP, peralatan elektronik, rumah tangga dll.,namun tetap dengan ketentuan yang sama dan juga membatasi jumlah minimal peserta.
Sekilas, arisan model seperti ini adalah bisnis nekat yang hanya akan merugikan pihak CV. Namun kenyataannya, dari kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan, bahkan dari pihak CV. dapat meraup keuntungan yang tidak sedikit. Keuntunan pihak CV ini bisa diperoleh dengan pembelian Honda Revo langsung dari distributor Hoda dengan sistem paket kredit, yakni 30 paket motor bonus 3 motor, plus potongan harga normal. Atau, pihak CV akan memutar uang yang diterima dari iuran peserta untuk modal usaha, didepositokan di Bank dll., sehingga pihak CV tetap memperoleh untung dari program arisan ini.
 Praktek lain yang hanpir mirip dengan model ARISAN SEDULURAN ini adalah arisan yang diadakan dalam sebuah jami'yyah. Hanya saja yang membedakan, iuran ini dilabeli atau lebih pasnya diatasnamakan sedekah, dan peserta yang namanya keluar saat undian berhak mendapatkan kesempatan umrah.
Pertanyaan
a.      Termasuk akad apa transaksi antara pihak CV dengan peserta arisan di atas? Dan bagaimana hukumnya?
Sail : III 'Aliyah MHM
Jawaban :
a.     Ada dua kemungkinan :
ü Akad jual beli yang tidak sah karena ketidakjelasan harga, bentuk barang, dan pelaku akad (peserta yang memperoleh honda Revo.
ü Dan atau akad qardlu yang hukumnya juga tidak sah bila ketentuan mendapatkan honda Revo disebutkan dalam akad.
Catatan :
ü Praktek di atas dapat direalisasikan dengan solusi peserta ketika menyerahkan uang kepada penyelenggara dimaksudkan menghutangi kemudian ketika undian keluar dan mendapatkan honda revo dilakukan akad istibdal, yakni hutang yang diterima diganti dengan sepeda Revo maka hukumnya sah.
ü Bila ada ketentuan peserta yang tidak bisa melanjutkan atau berhenti arisan uang yang disetorkan akan hangus maka di samping akad qardlunya tidak sah juga tidak ada solusi untuk mengesahkannya.

1.         قليوبي الجزء الثاني صحـ 321
فرع : الجمعة المشهورة بين النساء بأن تأخذ امرأة من كل واحدة من جماعة منهن قدرا معينا في كل جمعة أو شهر وتدفعه لواحدة بعد واحدة , إلى آخرهن جائزة كما قاله الولي العراقي
2.         إعانة الطالبين الجزء الثالث صحـ 65
أما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد، لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا وجبر ضعفه مجئ معناه عن جمع من الصحابة ومنه القرض لمن يستأجر ملكه، أي مثلا بأكثر من قيمته لاجل القرض إن وقع ذلك شرطا إذ هو حينئذ حرام إجماعا وإلا كره عندنا وحرام عند كثير من العلماء قاله السبكي
(قوله جر نفع لمقرض) أي وحده أو مع مقترض كما في النهاية (قوله ففاسد) قال ع ش ومعلوم أن محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد فلا فساد اهـ والحكمة في الفساد أن موضوع القرض الارفاق فإذا شرط فيه لنفسه حقا خرج عن موضوعه فمنع صحته (قوله جر منفعة) أي شرط فيه جر منفعة (قوله فهو ربا) أي ربا القرض وهو حرام (قوله وجبر ضعفه) أي أن هذا الخبر ضعيف ولكن جبر ضعفه أي قوى ضعفه مجئ معناه أي الخبر وهو أن شرط جر النفع للمقرض مفسد للقرض وعبارة النهاية وروي أي هذا الخبر مرفوعا بسند ضعيف لكن صحح الامام والغزالي رفعه وروي البيهقي معناه عن جمع من الصحابة اهـ (قوله ومنه القرض إلخ) أي ومن ربا القرض القرض لمن يستأجر ملكه (وقوله أي مثلا) راجع للاستئجار يعني أن الاستئجار ليس قيدا بل مثالا ومثله القرض لمن يشتري ملكه بأكثر من قيمته (وقوله لاجل القرض) علة للاستئجار بأكثر من قيمته (قوله إن وقع ذلك) أي الاستئجار المذكور شرطا أي في صلب العقد (قوله إذ هو) أي القرض لمن يستأجر ملكه (وقوله حينئذ) أي حين إذ وقع ذلك شرطا في صلب العقد (قوله وإلا كره) أي وإن لم يقع ذلك شرطا في صلب العقد كره أي ولا يكون ربا (قوله عندنا) أي معاشر الشافعية
3.         إعانة الطالبين الجزء الثالث صحـ 52
ويجب على المقترض رد المثل في المثلى وهو النقد والحبوب ولو نقدا أبطله السلطان لأنه أقرب إلى حقه ورد المثل صورة في المتقوم وهو الحيوان والثياب والجواهر
( قوله ويجب على المقترض رد المثل ) أي حيث لا استبدال فإن استبدل عنه كأن عوضه عن بر في ذمته ثوبا أو دراهم فلا يمتنع لجواز الاعتياض عن غير المثمن ( قوله وهو ) أي المثلي ( قوله ولو نقدا إلخ ) أي يجب رد المثل ولو كان نقدا أبطل السلطان المعاملة به ( قوله لأنه أقرب إلى حقه ) تعليل لوجوب رد المثل أي يجب ذلك لأن المثل أقرب إلى حق المقرض ( قوله ورد المثل صورة ) معطوف على رد أي ويجب رد المثل في الصورة وإن كان ليس مثله حقيقة وذلك لخبر مسلم أنه استسلف بكرا أي وهو الثني من الإبل ورد رباعيا أي وهو ما دخل في السنة السابعة وقال إن خياركم أحسنكم قضاء
4.         بغية المسترشدين صحـ 132
مسألة : ي ك) : الفرق بين الثمن والمثمن هو أنه حيث كان في أحد الطرفين نقد فهو الثمن والآخر المثمن ، وإن كانا نقدين أو عرضين فالثمن ما دخلته الباء ، وفائدة ذلك أن الثمن يجوز الاستبدال وهو الاعتياض عنه بخلاف المثمن ، زاد ي : وشروط الاستبدال عشرة ، كونه عن الثمن وأن لا يكون مسلماً فيه ولا ربوياً بيع بمثله ، وأن يكون بعد لزوم العقد لا في مدة اختيار المجلس أو الشرط ، وأن لا يكون البدل حالاً وبصيغة إيجاب وقبول صريحة كأبدلتك وعوّضتك ، إو كناية كخذه ، وأن يعين البدل في المجلس ، وأن يقبضه إن اتفق هو والدين في علة الربا لا إن اختلفا كذهب بأرز ، وأن تتحقق المماثلة في ربوي بجنسه كذهب بمثله ، قاله (م ر) وهو الأحوط. وقال ابن حجر : لا يشترط وأن لا يزيد البدل على قيمة الدين يوم المطالبة ببلده إن وجب إتلاف أو قرض ، فلو أخذ ربية فضة بمائة وستين دويداً مؤجلة ، فإن كان بصيغة البيع صح وجاز الاستبدال عنه بهذه الشروط أو بصيغة القرض فلا.
5.         الفتاوي الفقهية الكبرى الجزء الثاني صحـ 280
( وسئل ) عمن اقترض عشرة دراهم مغشوشة وأراد أن يبدله عنها خمسة غير مغشوشة أو عكسه مع الرضا فهل يجوز أو أقرضه عشرة آصع من بر وأراد أن يبدله نوعا آخر منه فهل يجوز أيضا عملا بقول الأنوار ولا فرق بين الربوي وغيره في الأجود وقياسه أن الأردأ كذلك ؟ ( فأجاب ) بقوله الذي عليه العمل واختاره جمع متأخرون وأفتوا به صحة إقراض المغشوشة وحينئذ فللمقترض أن يرد أجود أو أكثر من غير شرط بل يندب وله رد أنقص وأردأ إن رضي المقرض كما قاله ابن الملقن في عمدته هذا إذا كان المردود من جنس المقرض ونوعه وإلا فهو بيع حقيقة فتجري فيه جميع أحكامه التي ذكروها في الاستبدال .








Jalsah Tsaniyah
MUSHOHHIH
1.      KH. Arsyad Busyairi
2.      KH. A. Yasin Asmuni
3.      KH. Atho’illah S. Anwar
4.      KH. Romadlon Khotib
5.      KH. Muhibbul Aman
6.      KH. Imam Syuhada'
7.      KH. Fahim Rauyani
8.      K. Anang Darunnaja
9.      KH. Abdul Mu'id Sohib
10.   Agus H. Sobich Al Muayyad
PERUMUS
1.       K. Zahro Wardi
2.       Agus Syamsul Mu'in
3.       Bpk. Saiful Anwar
4.       Bpk. Sunandi Zubaidi
5.       Bpk. M. Anas
6.       Bpk. Bisyri Musthofa
7.       Bpk. Alwi Hasan


MODERATOR
Bpk. Agus Sugianto

NOTULEN
1.     Bpk. Ahid Yasin
2.     Bpk. Zaimul Abror

Memutuskan :
Pertanyaan
b.   Kalau tidak diperbolehkan, apa kewajiban pihak CV yang telah memanfaatkan uang iuran peserta dan         kewajiban peserta yang telah mendapatkan Honda Revo?
Jawaban :
  1. Bagi kedua belah pihak (CV dan peserta arisan) harus mengembalikan barang yang telah diterima.

REFERENSI
  1. Al Bujairami al Khatib vol. 3, hal. 13-14

  1. Hasyiyah Jamal vol. 3, hal. 377


1.         البجيرمي على الخطيب الجزء الثالث صحـ 13-14
ويرد كل ما أخذه بها أو بدله إن تلف قوله ( ويرد كل ما أخذه ) أي وجوبا ولو بلا طلب من الآخر فإن لم يرده فلا عقاب في الآخرة إن كان عن رضا كما قاله النووي لطيب النفس بها واختلاف العلماء فيها نقله في المجموع ا هـ روض وشرحه والمعاطاة من الصغائر على الراجح لجريان الخلاف فيها وكذا كل بيع فاسد ؛ قاله ع ش .وقوله : " فلا عقاب " أي من حيث المال وإن كان يعاقب من حيث تعاطي العقد الفاسد إذا لم يوجد مكفر كما في شرح م ر ؛ ولو اختلف اعتقادهما كمالكي وشافعي عومل كل باعتقاده فيجب على الشافعي الرد دون المالكي ، فإذا رد الشافعي أتى فيه الظفر بغير جنس حقه أو يرفع المالكي للحاكم .وفي ع ش على م ر : فرع : وقع السؤال في الدرس عما لو وقع بيع بمعاطاة بين مالكي وشافعي ، هل يحرم على المالكي ذلك لإعانته الشافعي على معصية في اعتقاده أم لا ؟ فيه نظر .والجواب عنه أن الأقرب الحرمة كما لو لعب الشافعي مع الحنفي الشطرنج حيث قيل يحرم على الشافعي لإعانته الحنفي على معصية في اعتقاده .قوله : ( أو بدله إن تلف ) أي المثل في المثلي ، وأقصى القيمة في المتقوم ، وكذا كل مقبوض بالشراء الفاسد سم ع ش على م ر ؛ أي لأن المقبوض بالشراء الفاسد حكمه حكم المغصوب .
2.         حاشية الجمل الجزء الثالث صحـ: 377
ثم المقبوض بعقد المعاطاة كالمقبوض بعقد فاسد ونقل في المجموع عن ابن أبي عصرون وأقره أنه لا مطالبة بذلك في الآخرة لطيب النفس واختلاف العلماء قال وخلافها يجري في غير البيع من الإجارة والرهن والهبة ونحوها والقول بانعقاد البيع بها مخرج من كون الفعل يملك به في مثل إن أعطيتني فأنت طالق وأجاب الرافعي بأن المرأة ملكت البضع حين وقع الطلاق فاضطررنا إلى اعتبار دخول العوض في ملكه ومثل هذا المعنى لا يتحقق في المعاطاة ا هـ .عميرة وقوله لطيب النفس إلخ لعل التعليل بالمجموع فلا يكون البيع الفاسد كذلك تأمل ثم رأيت شيخنا حج في شرح الإرشاد قال ويجري ذلك في كل عقد فاسد ا هـ .
Pertanyaan
c.      Bagaimana hukum mengikuti arisan seperti dalam sebuah jam'iyyah dengan hadiah umroh?
Jawaban : 
Diperinci:
a.      Apabila saat menyerahkan uang tersebut "penyumbang" semata-mata bermaksud untuk mendapatkan undian hadiah umroh, maka tergolong qimar (judi) meskipun dibungkus sedekah Sebagaimana SDSB (Sumbangan dana sosialberhadiah).
b.      Apabila saat menyerahkan bermaksud sedekah meskipun disertai harapan mendapatkan hadiah umroh, maka tidak diperbolehkan jika biaya umroh diambil dari uang sumbangan yang terkumpul karena menggunakan uang sedekah tidak semestinya.




REFERENSI
1.      Tuhfah al Muhtaj vol. 6, hal. 309
2.      Hasyiyah Qalyubi vol. 6, hal. 206
3.      Fatawi wa Masyurat (Dr. Romdlon Buthi) vol. 2, hal. 49.
4.      Al Majmu' syarhul Muhadzab, vol. 15, hal. 370.

1.         تحفة المحتاج في شرح المنهاج الجزء السادس صحـ : 309
( فرع ) أعطى آخر دراهم ليشتري بها عمامة مثلا ولم تدل قرينة حاله على أن قصده مجرد التبسط المعتاد لزمه شراء ما ذكر وإن ملكه ؛ لأنه ملك مقيد يصرفه فيما عينه المعطي ولو مات قبل صرفه في ذلك انتقل لورثته ملكا مطلقا كما هو ظاهر لزوال التقييد بموته كما لو ماتت الدابة الموصى بعلفها قبل الصرف فيه فإنه يتصرف فيه مالكها كيف شاء ولا يعود لورثة الموصي ، أو بشرط أن يشتري بها ذلك بطل الإعطاء من أصله ؛ لأن الشرط صريح في المناقضة لا يقبل تأويلا بخلاف غيره .
2.         حاشية قليوبي الجزء السادس صحـ : 206
 تنبيه : متى حل له الأخذ وأعطاه لأجل صفة معينة لم يجز له صرف ما أخذه في غيرها , فلو أعطاه درهما ليأخذ به رغيفا لم يجز له صرفه في إدام مثلا أو أعطاه رغيفا ليأكله لم يجز بيعه , ولا التصدق به , وهكذا إلا إن ظهرت قرينة بأن ذكر الصفة لنحو تجمل لتشرب به قهوة مثلا فيجوز صرفه فيما شاء .
3.         فتاوى ومشورات للدكتور محمد سعيد رمضان البوطي الجزء الثاني صحـ: 49
القاعدة التي تحدد معنى الميسير تتخلص لأن كل مال يدفعه الإنسان مقابل منفعة يحتمل أن يحصل عليها ويحتمل ألا يحصل عليها فهو داخل في معنى الميسير والميسير محرم بنص القرأن وهذا الذي تسألني عنه من هذا القبيل يدفع الشحص ما يدفعه من الدراهم متأملا أن يجيب الاجابة الصحيحة فيدخل في القرعة فيكون له نصيب من أرباحها وقد ينال ما تأمله وقد لا ينال ولكن الكل يدفعون الدراهم التي لا بد من دفعها .
4.         المجموع شرح المهذب الجزء الخامس عشر صحـ 370
والهبة والعطية والهدية والصدقة معانيها متقاربة وكلها تمليك في الحياة بغير عوض، واسم العطية شامل لجميعها، وكذلك الهبة والصدقة والهدية متغايران، فان النبي صلى الله عليه وسلم كان يأكل الهدية ولا يأكل الصدقة.وقال في اللحم الذى تصدق به على بريرة (هو عليها صدقة ولنا هدية) فالظاهر ان من أعطى شيئا يتقرب به إلى الله تعالى للمحتاج فهو صدقة.ومن دفع إلى انسان شيئا بتقرب به إليه محبة له فهو هدية، وجميع ذلك مندوب إليه ومحثوث عليه لقوله صلى الله عليه وسلم (تهادوا تحابوا) وأما الصدقة فما ورد في فضلها اكثر من ان يمكننا حصره، وقد قال الله تعالى (ان تبدوا الصدقات فنعما هي، وان تخفوها وتؤتوها الفقراء فهو خير لكم ويكفر عنكم سيئاتكم) إذا ثبت هذا فان المكيل والموزون لا تلزم فيه الصدقة والهبة الا بالقبض، وهو قول اكبر الفقهاء، منهم النخعي والثوري والحسن بن صالح وابو حنيفة والشافعي واحمد.وقال مالك وابو ثور: يلزم ذلك بمجرد العقد لعموم قوله عليه الصلاة والسلام (العائد في هبته كالعائد في قيئه) ولانه ازالة ملك بغير عوض فلزم بمجرد العقد كالوقوف والعتق.


Jalsah Tsalitsah
MUSHOHHIH
1.      KH. Arsyad Busyairi
2.      KH. A. Yasin Asmuni
3.      KH. Atho’illah S. Anwar
4.      KH. Romadlon Khotib
5.      KH. Muhibbul Aman
6.      KH. Imam Syuhada'
7.      KH. Fahim Rauyani
8.      KH. Ma'sum Ali
PERUMUS
1.       K. Zahro Wardi
2.       Bpk. Saiful Anwar
3.       Bpk. M. Anas
4.       Bpk. Bisyri Musthofa
5.       Bpk. Alwi Hasan


MODERATOR
Bpk. Arif Ridlwan Akbar

NOTULEN
1.     Bpk. Ahid Yasin
2.     Bpk. Zaimul Abror

Memutuskan :
3.     VALIDITAS JADUAL SHALAT ABADI
Deskripsi Masalah
Sebagaimana kerap kita lihat di dinding-dinding masjid, musholla atau tempat-tempat ibadah lain terdapat JADUAL SHALAT ABADI, label " JADUAL SHALAT ABADI" yang terteratak jarang mengobsesi masyarakat awam untuk begitu saja meyakini bahwa shalat tidak pernah mengalami perubahan sepanjang masa, dan cenderug enggan melakukan akurasi dan koreksi dengan waktu yang sebenrnya, sehingga menjadiakan jadual tersebutsebagai acuan dan pakem  dalam menentukan waktu shalat. Di sampng itu, memang tidak semua orang memiliki pengetahuanmemadai dengan teori penentua dan perubahan waktu shalat ini. Padahal jika ditilikmelalui ilmu astronomi, perubahan waktu senantiasa berlangsung dari hari ke hari dan tahun ke tahun. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa waktu shalat tidak ada yang tidak berubah lebih-lebih abadi.
Pertanyaan                                                                                                                    
a.      Sejauh mana  validitas JADUAL SHALAT ABADI digunakan acuan menentukan waktu shalat?
b.       Adakah kewajiban melakukan koreksi untuk akurasi waktu shalat, dan tiap kapan?
Sail : Mutakhorijin MHM 2009
Jawaban
a.      Sejauh jadwal waktu tersebut dibuat berdasarkan kaidah-kaidah ilmu falak yang ditetapkan dalam kitab-kitab falak mu'tabar dan tidak bertentangan dengan waktu shalat yang ditentukan oleh syara'.
b.      Tidak wajib

REFERENSI
1.      Syarh Bughyatul Mustarsyidin vol. 2 hal. 23,33,40
2.      As-Syarwani vol. 1 hal. 500

1.         شرح بغية المسترشدين الجزء الثاني صحـ :23
سئل هل الفضاء الذي قدام الثريا مثلا هو المعدود من منزلتها أو الفضاء الذي خلفها فأجاب أن الفضاء المعدود هو الذي من خلفها وهو الذي من جهة المشرق ولكن حساب الشبامي دخل فيه خلل لطول الزمان حتى صار في زماننا هذا فضاء المنزلة على حسابه هو الذي قدامها حتى اذا ابتدأ الفضاء الذي قدام الثريا مثلا بالغروب قال غربت الثريا ولم يقع هذا منه عن قصد بل سببه ما ذكرناه وذلك أن أهل الهيئة يقولون أن للفلكي حركة مخالفة إلى جهة المشرق ولكنها بطيئة بحيث أنه يحصل منها في نحو اثنتين وسبعين سنة عربية درجة وهي نحو يوم ففي سبعمائة سنة وشيئ يكون التفاوت عشرة ايام وعلى هذا القياس فالشبامي أحمل هذا لدقته وطول مدته فحصل في حسابه الخلل في المدد المتطاولة والله أعلم أهـ
2.          شرح بغية المسترشدين الجزء الثاني صحـ :33
ويجوز للحاسب وهو من يعتمد منازل القمر والشمس وتقدير سيرهما ، والمنجم وهو من يرى أول الوقت طلوع النجم الفلاني العمل بحسابهما ، ولمن غلب على ظنه صدقهما تقليدهما قياساً على الصوم كما قاله ع ش وبج ، ويتحقق طلوع الفجر كما في الإحياء قبل الشمس بمنزلتين ، وقدرهما أربع وعشرون درجة ، وكل درجة ستون دقيقة ، وكل دقيقة قدر قراءة الإخلاص مرة ، وكل إحدى عشر من الإخلاص قدر قراءة مقرىء تقريباً ، فمجموع ذلك مائة وثلاثون مقرئاً ، وذلك نحو ثمانية أجزاء من القرآن ، ومن راقب غروب القمر ليلة اثنتي عشرة ، وطلوعه من أفقه ليلة ست وعشرين ، فقرأ بين ذلك إلى طلوع الشمس قارب هذا القدر ، وقد نص في الإحياء على أن الفجر يطلع مع غروب القمر ، وطلوعه في تينك الليلتين ليقيس عليهما العامي بقية أيام الشهر بأخذ علامة من نحو كوكب ، ومن العلوم بديهة أن من مسكنه بين جبال كحضرموت لا يبدو له أوَّل الضوء المنتشر إلا وقد انتشر في أفقه انتشاراً عظيماً حتى يبدو مبادي الصفرة ، وإنما يعرف أوَّله حينئذ العارفون بالأوقات المجرِّبون لها بالعلامات التي لا تختلف عادة على ممرِّ السنين الداخلة تحت اليقينيات ، وهذا وصف العارفين من المؤذنين الثقات الذين أوجب الله الأخذ بقولهم لا كل الناس ، فعند عدم من هذا وصفه ينبغي الاحتياط ، إذ لا يصح الصلاة مع الشك بخلاف الظن – إلى أن قال-نعم قد تغير هذا الحساب لطول الزمان وتأخر الفلك، من أوَّل حساب الشبامي إلى الآن بأربعة عشر يوماً، فحينئذ إذا كان أوَّل يوم من نجم الثريا فيطلع الفجر آخر درجة من نجم النطح وهكذا، ويستدل عليه أيضاً بالقمر وهو غروبه ليلة ثلاث عشرة من الشهر، وطلوعه ليلة سبع وعشرين غالباً، كما ذكره ابن قطنة وغيره، وأما ما ذكره الغزالي واليافعي فهو بالنسبة لبلدهما، وما قاربها في العرض والطول، بل هذه الاستدلالات كلها تقريبية لا تحقيقية، وأضبط من هذه وأتقن تحقيقاً ضبطه بالساعات، وهو قدر ساعة ونصف في الاستواء على المعتمد، من أن حصة الفجر تكون دائماً ثمن الليل في أي مكان وزمان، كما قاله في الإيعاب وغيره من كتب الأئمة المحققين، وقيل سبعة، وقيل تسعة، فعلى الأوَّل يزيد في غاية طول الليل ثمن ساعة، وفي غاية قصره ينقص كذلك، هذا في جهة حضرموت وما والاها مما يكون غاية طول الليل فيها ثلاث عشرة ساعة إلا نصف درجة يعني دقيقتين، وغاية قصره إحدى عشرة ونصف درجة، وذلك لكون عرضها أي بعدها عن خط الاستواء خمس عشرة درجة ونصفاً، فحينئذ يكون مع الاستواء بعد مضي عشر ساعات ونصف من الغروب، وإحدى عشرة وربع وثمن مع الطول، وتسع ونصف وثمن مع القصر، ويضاف لكل من الثلاثة ما قاربه، وهذه عادة الله المستمرَّة في جهتنا لا يتقدم ولا يتأخر، وكذا في جميع الجهات، مع مراعاة الزيادة والنقص بطول ليلها وقصره، فمن أخبر بما يخالف هذه العادة عن علم أو اجتهاد فغير مقبول للقاعدة التي ذكرها ابن عبد السلام والسيوطي وغيرهما أن ما كذبه العقل أو العادة مردود، وإذا رد الشرع الشهادة بما أحالته العادة فأولى رد الحساب والاجتهاد
(قوله وهذه عادة الله الخ) وتثبت العادة بالاستقراء واخبار عدد التواتر به قال في التحفة وتواتر الكتب معتد به كما صرحوا به اهـ. ومثله في الفتاوي الحديثية له ويكفي في ذلك خمسة كتب فصاعدا كما ذكره السيد علوي بن عبد الله باحسن جمل اليل .
3.          شرح بغية المسترشدين الجزء الثاني صحـ:40
(مسألة : ي) : مراتب الاجتهاد في الوقت ستّ : إمكان معرفة يقين الوقت ، ووجود من يخبر عن علم ، والمناكيب المحررة أو المؤذن الثقة في الغيم ، وإمكان الاجتهاد من البصير ، وإمكانه من الأعمى ، وعدم إمكانه منهما ، فصاحب الأولى مخير بينها وبين الثانية حيث وجدت وإلا فالثالثة ثم الرابعة ، وصاحب الثانية ليس له العدول إلى ما دونها ، وصاحب الثالثة يخير بينها وبين الاجتهاد ، وصاحب الرابعة ليس له التقليد ، وصاحب الخامسة يخير بينها وبين السادسة ، وصاحب السادسة يقلد ثقة عارفاً ، ذكره الكردي.
(قوله ست ) وفي الجمل على المنهج ما نصه واعلم أن مراتب الوقت ثلاثة العلم بالنفس واخبار الثقة عن علم والمؤذن العارف في الصحو هذه الثلاثة في مرتبة واحدة فيتخير بينها وكذا المزولة الصحيحة والساعة الصحيحة والمناكب الصحيحة فهذه كلها في المرتبة الأولى والمرتبة الثانية هي الاجتهاد والمؤذن العارف في الغيم والمرتبة الثالثة  تقليد المجتهد وكونها ثلاثة في الجملة  بدليل قول الرملي اجتهد جوازا الخ اهـ شيخنا وعبارة الباجوري وهذا أي العلم بفسه بدخول الوقت المرتبة الأولى إلى أن قال ومثل العلم بالنفس أيضا رؤية المزاول الصحيحة والمناكب الصحيحة والساعات المجربة وبيت الإبرة لعارف به فهذا كله أي العلم بنفسه واخبار الثقة عن علم وأذانه في الصحو والمزاول والمناكب والساعات وبيت الإبرة الصحيحة في مرتبة واحدة.
4.          حواشي الشرواني الجزء الأول ص 500
ويجوز الاعتماد على بيت الإبرة في دخول الوقت والقبلة لإفادتها الظن بذلك كما يفيده الاجتهاد أفتى به الوالد رحمه الله تعالى وهو ظاهر اه قال ع ش قوله م ر لإفادتها الظن الخ قضيته أن بيت الإبرة في مرتبة المجتهد وليس مرادا إذ لو كان في مرتبته لحرم عليه العمل به إن قدر على الاجتهاد كما يحرم الأخذ بقول المجتهد لكن تعبيره بجواز الاعتماد يشعر بأنه مخير بين العمل به وبين الاجتهاد فيكون مرتبة بين المخبر عن العلم وبين الاجتهاد وينبغي أن مرتبته بعد مرتبة المحراب المعتمد فإن ذاك بمنزلة المخبر عن علم حتى لا يجوز الاجتهاد معه جهة ولا غيرها على ما مر اهـ واعتمد شيخنا والقليوبي أن بيت الإبرة في مرتبة المحراب المعتمد ويجوز الاجتهاد فيه أيضا يمنة أو يسرة لا جهة اهـ وإلى هذا ميل القلب والله أعلم


























2 komentar: